Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) tentang
persepsi masyarakat bahwa DPR dan parpol merupakan lembaga terkorup
telah menimbulkan kontroversi. Ketua DPR dan Ketua MPR mempersoalkan.
Sebenarnya hasil survei tersebut "benar" dari satu segi dan
"salah" dari segi lain. Dengan metodologi yang ketat dan dikerjakan
oleh lembaga yang kredibel seperti Gallup dan TII dapat dipastikan
hasil survei tersebut benar bahwa ?menurut persepsi masyarakat? DPR
dan parpol merupakan lembaga terkorup. Tetapi jika dikaitkan dengan
"fakta kuantitatif" tentang kasus korupsi dapat dipastikan bahwa
persepsi tersebut ?salah.? Jadi memang benar ada persepsi di
masyarakat, tapi persepsi tersebut salah jika dikaitkan dengan fakta.
Sangatlah tak masuk akal kalau DPR dan parpol itu dikatakan paling
korup menurut UU sebab anggaran DPR tak sampai satu persen dari
seluruh APBN yang seumpama dikorupsi semua pun tak akan menjadi
korupsi terbesar; sementara parpol tidak mengelola uang negara kecuali
bantuan sesuai dengan suara hasil pemilu yang jumlahnya tak seberapa.
Tapi persepsi masyarakat bahwa DPR dan parpol itu terkorup
memang bisa muncul jika memakai ukuran perilaku korupsi
nonkonvensional; bukan korupsi konvensional atas uang negara yang
menurut UU ukurannya adalah melawan hukum, menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau korporasi, dan merugikan keuangan negara. Karena
pemberitaan gencar di media massa, yang banyak dilihat oleh masyarakat
dari perilaku korupsi di DPR dan parpol adalah percampuradukan antara
korupsi nonkonevesional dan korupsi konvensional yang diakumulasikan
begitu saja sehingga menjadi persepsi.
Perilaku korupsi di DPR dan parpol yang dicampuradukkan itu
misalnya, minta disponsori pemerintah untuk kegiatan yang tidak
penting, mengubah sikap kritis menjadi akomodatif asalkan mendapat
secara diam-diam, memeras mitra kerja untuk menyikapi satu isyu,
arogan dan minta dilayani secara berlebihan, mencari-cari peluang
untuk studi banding yang sebenarnya tak perlu, tak sensitif terhadap
persoalan masyarakat, parpol memungut uang yang tak wajar untuk
rekomendasi pencalonan pilkada, minta diperlakukan dengan protokoler
resmi dalam kegiatan yang bersifat pribadi, mencampuraduk urusan
partai dengan urusan DPR, berselingkuh, dan sebagainya. Semua itu
adalah perilaku korupsi meskipun tidak selalu korupsi konvensional.
Akumulasi atas perilaku itulah yang menimbulkan persepsi bahwa DPR dan
parpol merupakan lembaga terkorup.
Dengan demikian jika hanya diukur berdasar korupsi konvensional
yakni yang berkaitan dengan besaran uang dan tugas negara menurut UU
pastilah DPR dan parpol "bukan lembaga terkorup". Faktanya, ada
ratusan anggota DPR/DPRD yang didakwa dan dihukum melakukan tindak
pidana korupsi tetapi jumlah keseluruhan uang yang dikorupsi
dipastikan tidak sampai 10% dari dana kasus korupsi yang didakwakan
dan dihukumkan kepada satu (saja) kasus terbesar dari korupsi-korupsi
yang terjadi di eksekutif.
Alahasil DPR dan Parpol memang mungkin menjadi lembaga paling
korup secara nonkonvensional, tetapi tidak secara konvensional. Yang
sewot dengan hasil survei TII itu sebenarnya mereka yang tak
membedakan antara persepsi dan fakta dan antara korupsi konvensional
dan korupsi nonkonevensional.
Kamis, 25 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar